Rabu, 23 Desember 2015

SULING DEWA BAYAN

                                                          


Suling Dewa, kesenian tradisional asal Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini hanya digelar ketika musim kemarau melanda. Tradisi ini dihelat untuk memohon turunya hujan. Mengingat musim kemarau yang menghantui warga Lombok Utara secara khusus dan NTB secara umum, sepertinya ritual yang satu ini perlu diadakan dalam Pekan Apresiasi Budaya.
Selama ini masyarakat Lombok memahami dan mengenal Bayan sebagai salah satu pusat peradaban tertua di Lombok. Banyak budaya dan seni tradisi hasil lokal genius leluhur yang masih dilakoni di ujung timur Kabupaten Lombok Utara. Salah satu kesenian tradisional Suling Dewa.
Sejarah panjang mengiringi kelahiran kesenian yang satu ini. Tiupan seruling dewa ini diyakini masyarakat adat Bayan mampu menurunkan air langit untuk memberikan babak kehidupan yang baru di atas bumi.
Kesenian ini lahir ketika wilayah Bayan dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Karena tak ada satu pun tanaman yang bisa tumbuh dan berkembang, otomatis mempengaruhi siklus kehidupan di Gumi Bayan. Bahaya kelaparan pun mengancam dimana-mana.
Suara-suara bijak dari atas langit memberikan petunjuk demi kelangsungan hidup umat manusia. Salah seorang pemangku (tokoh yang dituakan,), diberikan petunjuk melalui suara, bukan petunjuk dari mimpi. Sang pemangku pun berkomunikasi tanpa bisa mengetahui siapa si pemilik suara.

Dalam komunikasi yang terjalin antara pemangku dengan suara tersebut, sang pemangku kebingungan.Ia tidak tahu harus berbuat apa. Dalam kebingungannya, pemangku adat tadi diarahkan kembali untuk melakukan sebuah prosesi adat yang dinamakan mendewa. Maksudnya, untuk mengakhiri musim kemarau panjang ini.
Hanya saja persoalan tidak bisa selesai sampai disana saja. Sang pemangku kebingungan mencari bahan-bahan untuk melakukan prosesi adat Mendewa. Karena keperluan ritual mendewa harus dilengkapi dengan sirih, pinang, lekoq buak (penginang), sementara kala itu musim kemarau tengah melanda.
Selanjutnya, wangsit itu kemudian mengarahkan agar pemangku bergegas menuju ke suatu tempat di tengah hutan Gunung Rinjani. Disana sudah tersedia keperluan yang dibutuhkan untuk melakukan prosesi ritual mendewa tersebut. ”Dalam dialog tersebut, ditegaskan segala prosesi tersebut harus dilaksanakan di Bale Beleq pada malam senin dan malam jumat.
Selain itu, pemangku juga diperintahkan membuat suling dari bambu. Sebuah alat musik tiup yang merupakan satu-satunya alat yang dipakai untuk menghibur diri. Prosesi ini diawali dengan ditiupkannya seruling oleh Jero Gamel atau peniup suling. Ia lantas memainkan komposisi atau Gending Bao Daya. Bila diartikan, dalam bahasa Indonesia bao daya ini bermakna mendung di selatan.
Di malam pertama prosesi ini dilangsungkan yaitu pada malam senin, hujan tak juga turun. Tapi ajaibnya, Gumi Bayan yang selama berbulan-bulan mengalami kekeringan, tib-tiba melihat awan gelap yang datang berarak-arak menyelimuti langit Bayan.
Pada malam jumat, dimana prosesi kedua dari ritus ini dilangsungkan, hujan hampir-hampir saja mengguyur Gumi Bayan. Hanya saja, hujan yang diharapkan tak kunjung jua turun membasahi tanah.
Suara bijaksana tersebut kembali datang menyapa Pemangku, agar tetap melaksanakan ritual tersebut.
Akhirnya rintik hujan yang dinanti selama ini, turun dari langit dengan derasnya pada pelaksanaan ketiga, atau tepatnya di malam senin. Tetesan air tercurah ke bumi terjadi sesaat setelah alunan Gending Bao Daya dimainkan Jero Gamel dengan tiupan serulingnya. Kehidupan pun kembali pulih. Semua orang tersenyum menatap datangnya hujan yang membawa pengharapan baru diatas muka bumi.

Atas keajaiban tersebut, suling Bao Daya yang selama ini dikenal oleh masyarakat Bayan pun berganti nama menjadi Suling Dewa. Nama ini diberikan atau ditasbihkan masyarakat karena keajaiban yang dihasilkan melalui tiupannya.
Dalam memainkan gending Bao Daya ini, ada dua unsur yang harus ada. Yakni, Jero Gamel atau peniup seruling dan Jero Gending atau sosok Sinden dalam kebudayaan Jawa. Selain komposisi Bao Daya, masyarakat Bayan juga mempunyai beberapa komposisi lainnya. Seperti, komposisi Putri Cina, Lembuneng Meloang, dan Lokok Sebie.

Menariknya lagi, alat musik tiup ini memiliki sebuah pemahaman filosofis yang begitu mendasar dan mulia. Alat musik seruling ini menggambarkan wujud manusia, dimana bila seruling ini tidak diberikan hembusan nafas, maka tidak akan menghasilkan nada-nada indah. Begitu juga dengan manusia, bila raga tanpa atma atau roh, tentu tidak akan ada kehidupan.
Didalam alat musik seruling, di ujung atas terdapat rongga yang akan ditiup yang dinamakan Slepers. Rongga inilah yang berfungsi sebagai tempat untuk menghembuskan nafas penghasil nada. Di badan seruling tersebut, terdapat enam lubang yang disebut pengatep untuk memainkan tangga nada.
Pengatep dengan enam lubang ini sebagai simbol indra yang dimiliki manusia. Suling dewa yang tidak diketahui usianya ini, hingga kini masih dikeramatkan sebagian masyarakat adat Lombok Utara. Tidak boleh diletakkan sembarangan, dan juga tidak boleh dimainkan secara semabarangan pula. Dimainkan pada saat-sata tertentu, seperti pada saat prosesi adat Gawe Alif, musim kemarau, atau selametan desa.
Untuk memainkan Suling Dewa, harus melalui prosesi adat terlebih dahulu. Jenis perlengkapannya pun sudah merupakan ketentuan mutlak. Yakni berupa kepeng (uang) bolong sebanyak 44 buah, lekoq buaq, bantal, kemenyan, nyiur gading, dan bunga harus disiapkan terlebih dahulu.
tidak itu saja, sebagian masyarakat Bayan juga meyakini seruling ini sebagai media pengobatan. Bila dipakai sebagai media pengobatan, peniup seruling pun akan mengalami kedewan atau kesurupan. Bila sudah mengalami Kedewan ini, pihak yang sakit pun dipersilahkan untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya. Selanjutnya, pasien akan diberikan jalan keluar penyelesaian masalah yang dihadapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar