Suling Dewa, kesenian tradisional asal Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini hanya digelar ketika musim kemarau melanda. Tradisi ini dihelat untuk memohon turunya hujan. Mengingat musim kemarau yang menghantui warga Lombok Utara secara khusus dan NTB secara umum, sepertinya ritual yang satu ini perlu diadakan dalam Pekan Apresiasi Budaya.
Selama ini masyarakat Lombok memahami
dan mengenal Bayan sebagai salah satu pusat peradaban tertua di Lombok.
Banyak budaya dan seni tradisi hasil lokal genius leluhur yang masih
dilakoni di ujung timur Kabupaten Lombok Utara. Salah satu kesenian
tradisional Suling Dewa.
Sejarah panjang mengiringi kelahiran
kesenian yang satu ini. Tiupan seruling dewa ini diyakini masyarakat
adat Bayan mampu menurunkan air langit untuk memberikan babak kehidupan
yang baru di atas bumi.
Kesenian ini lahir ketika wilayah Bayan dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Karena tak ada satu pun tanaman yang bisa tumbuh dan berkembang, otomatis mempengaruhi siklus kehidupan di Gumi Bayan. Bahaya kelaparan pun mengancam dimana-mana.
Suara-suara bijak dari atas langit memberikan petunjuk demi kelangsungan hidup umat manusia. Salah seorang pemangku (tokoh yang dituakan,), diberikan petunjuk melalui suara, bukan petunjuk dari mimpi. Sang pemangku pun berkomunikasi tanpa bisa mengetahui siapa si pemilik suara.
Kesenian ini lahir ketika wilayah Bayan dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Karena tak ada satu pun tanaman yang bisa tumbuh dan berkembang, otomatis mempengaruhi siklus kehidupan di Gumi Bayan. Bahaya kelaparan pun mengancam dimana-mana.
Suara-suara bijak dari atas langit memberikan petunjuk demi kelangsungan hidup umat manusia. Salah seorang pemangku (tokoh yang dituakan,), diberikan petunjuk melalui suara, bukan petunjuk dari mimpi. Sang pemangku pun berkomunikasi tanpa bisa mengetahui siapa si pemilik suara.
Dalam komunikasi yang terjalin antara
pemangku dengan suara tersebut, sang pemangku kebingungan.Ia tidak tahu
harus berbuat apa. Dalam kebingungannya, pemangku adat tadi diarahkan
kembali untuk melakukan sebuah prosesi adat yang dinamakan mendewa.
Maksudnya, untuk mengakhiri musim kemarau panjang ini.
Hanya saja persoalan tidak bisa selesai sampai disana saja. Sang pemangku kebingungan mencari bahan-bahan untuk melakukan prosesi adat Mendewa. Karena keperluan ritual mendewa harus dilengkapi dengan sirih, pinang, lekoq buak (penginang), sementara kala itu musim kemarau tengah melanda.
Hanya saja persoalan tidak bisa selesai sampai disana saja. Sang pemangku kebingungan mencari bahan-bahan untuk melakukan prosesi adat Mendewa. Karena keperluan ritual mendewa harus dilengkapi dengan sirih, pinang, lekoq buak (penginang), sementara kala itu musim kemarau tengah melanda.
Selanjutnya, wangsit itu kemudian
mengarahkan agar pemangku bergegas menuju ke suatu tempat di tengah
hutan Gunung Rinjani. Disana sudah tersedia keperluan yang dibutuhkan
untuk melakukan prosesi ritual mendewa tersebut. ”Dalam dialog tersebut,
ditegaskan segala prosesi tersebut harus dilaksanakan di Bale Beleq
pada malam senin dan malam jumat.
Selain itu, pemangku juga diperintahkan
membuat suling dari bambu. Sebuah alat musik tiup yang merupakan
satu-satunya alat yang dipakai untuk menghibur diri. Prosesi ini diawali
dengan ditiupkannya seruling oleh Jero Gamel atau peniup suling. Ia
lantas memainkan komposisi atau Gending Bao Daya. Bila diartikan, dalam
bahasa Indonesia bao daya ini bermakna mendung di selatan.
Di malam pertama prosesi ini
dilangsungkan yaitu pada malam senin, hujan tak juga turun. Tapi
ajaibnya, Gumi Bayan yang selama berbulan-bulan mengalami kekeringan,
tib-tiba melihat awan gelap yang datang berarak-arak menyelimuti langit
Bayan.
Pada malam jumat, dimana prosesi kedua
dari ritus ini dilangsungkan, hujan hampir-hampir saja mengguyur Gumi
Bayan. Hanya saja, hujan yang diharapkan tak kunjung jua turun membasahi
tanah.
Suara bijaksana tersebut kembali datang menyapa Pemangku, agar tetap melaksanakan ritual tersebut.
Akhirnya rintik hujan yang dinanti selama ini, turun dari langit dengan derasnya pada pelaksanaan ketiga, atau tepatnya di malam senin. Tetesan air tercurah ke bumi terjadi sesaat setelah alunan Gending Bao Daya dimainkan Jero Gamel dengan tiupan serulingnya. Kehidupan pun kembali pulih. Semua orang tersenyum menatap datangnya hujan yang membawa pengharapan baru diatas muka bumi.
Suara bijaksana tersebut kembali datang menyapa Pemangku, agar tetap melaksanakan ritual tersebut.
Akhirnya rintik hujan yang dinanti selama ini, turun dari langit dengan derasnya pada pelaksanaan ketiga, atau tepatnya di malam senin. Tetesan air tercurah ke bumi terjadi sesaat setelah alunan Gending Bao Daya dimainkan Jero Gamel dengan tiupan serulingnya. Kehidupan pun kembali pulih. Semua orang tersenyum menatap datangnya hujan yang membawa pengharapan baru diatas muka bumi.
Atas keajaiban tersebut, suling Bao Daya yang selama ini dikenal oleh masyarakat Bayan pun berganti nama menjadi Suling Dewa. Nama ini diberikan atau ditasbihkan masyarakat karena keajaiban yang dihasilkan melalui tiupannya.
Dalam memainkan gending Bao Daya ini, ada dua unsur yang harus ada. Yakni, Jero Gamel atau peniup seruling dan Jero Gending atau sosok Sinden dalam kebudayaan Jawa. Selain komposisi Bao Daya, masyarakat Bayan juga mempunyai beberapa komposisi lainnya. Seperti, komposisi Putri Cina, Lembuneng Meloang, dan Lokok Sebie.
Menariknya lagi, alat musik tiup ini
memiliki sebuah pemahaman filosofis yang begitu mendasar dan mulia. Alat
musik seruling ini menggambarkan wujud manusia, dimana bila seruling
ini tidak diberikan hembusan nafas, maka tidak akan menghasilkan
nada-nada indah. Begitu juga dengan manusia, bila raga tanpa atma atau
roh, tentu tidak akan ada kehidupan.
Didalam alat musik seruling, di ujung
atas terdapat rongga yang akan ditiup yang dinamakan Slepers. Rongga
inilah yang berfungsi sebagai tempat untuk menghembuskan nafas penghasil
nada. Di badan seruling tersebut, terdapat enam lubang yang disebut
pengatep untuk memainkan tangga nada.
Pengatep dengan enam lubang ini sebagai
simbol indra yang dimiliki manusia. Suling dewa yang tidak diketahui
usianya ini, hingga kini masih dikeramatkan sebagian masyarakat adat
Lombok Utara. Tidak boleh diletakkan sembarangan, dan juga tidak boleh
dimainkan secara semabarangan pula. Dimainkan pada saat-sata tertentu,
seperti pada saat prosesi adat Gawe Alif, musim kemarau, atau selametan
desa.
Untuk memainkan Suling Dewa, harus
melalui prosesi adat terlebih dahulu. Jenis perlengkapannya pun sudah
merupakan ketentuan mutlak. Yakni berupa kepeng (uang) bolong sebanyak
44 buah, lekoq buaq, bantal, kemenyan, nyiur gading, dan bunga harus
disiapkan terlebih dahulu.tidak itu saja, sebagian masyarakat Bayan juga meyakini seruling ini sebagai media pengobatan. Bila dipakai sebagai media pengobatan, peniup seruling pun akan mengalami kedewan atau kesurupan. Bila sudah mengalami Kedewan ini, pihak yang sakit pun dipersilahkan untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya. Selanjutnya, pasien akan diberikan jalan keluar penyelesaian masalah yang dihadapinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar